Jenghis Khan dan Elang Kesayangannya



Pada suatu hari yang panas, raja Jenghis Khan memimpin sepasukan serdadunya untuk berburu di hutan. Elang peliharaannya yang sudah terlatih dengan baik ikut bersamanya juga. Setelah berburu hingga tengah hari, Jenghis Khan mulai merasa haus. Ia memerintahkan beberapa pengawalnya untuk mencari air yang segar. 


Sambil menunggu mereka datang, Jenghis Khan beristirahat di suatu tempat yang teduh. Tiba-tiba ia mendengar gemercik suara air di dekat tempat ia melepas lelahnya. Ia segera menuju tempat asal suara itu. Di suatu bukit karang, dilihatnya air mengalir dari puncak dan turun ke bawah. Ia mengeluarkan sebuah buli-buli kecil untuk menampung air yang jatuh sambil bersandar pada bukit karang itu. Rasa hauh yang tak tertahankan membuatnya tak lagi sabar untuk menunggu hingga buli-buli itu penuh air. Ketika ia telah siap untuk mereguk air dari buli-bulinya itu, tiba-tiba elang kesayangannya menukik dari udara dan menerjang tangan kirinya yang memegang buli-bulinya itu hingga airnya tumpah. 

Hal itu tidak membuat Jenghis Khan menjadi gusar atau marah, karena ia berpikir bahwa elang kesayangannya itu sedang mengajaknya bersenda gurau. Dipungutnya kembali buli-buli yang jatuh itu dan mulai diisikannya air ke dalamnya lagi. Sekali lagi burung besar itu menerjang dan menumpahkan air dalam buli-bulinya. Jenghis Khan mulai bersungut, “Betapa kejamnya dirimu! Engkau menggodaku sementara aku ingin minum air ini karena kehausan!” Dengan sigap, dicabutnya pedang dan dipegangnya erat-erat. 

Untuk yang ketiga kalinya ia mencoba mengambil air. Ia berpikir bahwa kali ini ia akan bisa meminum air yang ditadahnya itu. Tetapi burung yang menjengkelkan itu mengulang kembali perbuatannya, seolah-olah Elang itu tidak ingin tuannya minum air tadi. 

Bersamaan dengan terjangan burung itu, Jenghis Khan mengayunkan pedangnya ke arah Elang kesayangannya itu dan burung itu pun mati. Dengan cepat dicarinya kembali buli-buli yang terjatuh itu. Tetapi didapatinya bahwa itu telah hancur karena terjatuh untuk ketigakalinya. Ia berpikir, lebih baik memanjat ke puncak bukit itu hingga ia dapat minum sepuas-puasnya di atas. 

Ketika ia sampai di atas bukit itu ia melihat suatu pemandangan yang membuat ia marah pada dirinya. Ada bangkai seekor kalajengking raksasa dalam air itu. Dan dari bangkai itu keluar bau busuk yang tak tertahankan. Segera wajahnya berubah menjadi pucat. Ia lupa akan rasa hausnya. Pikirannya meratapi kepada Elang kesayangannya yang kini sudah mati. Khan menjadi sadar sekarang bahwa Elang itu telah berusaha menyelamatkan hidupnya. 

Ishak Sugianto, Madu Surgawi, hlm. 66-68.

You may like these posts